Gender diartikan sebagai jenis kelamin
sosial, sedangkan seks adalah jenis kelamin biologis. Dalam gender ada
perbedaan peran, fungsi dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan
sebagai hasil konstruksi sosial. Namun, gender masih diartikan oleh masyarakat
sebagai perbedaan jenis kelamin. Masyarakat belum memahami bahwa gender adalah
suatu konstruksi budaya tentang peran fungsi dan tanggung jawab sosial antara
laki-laki dan perempuan. Kondisi demikian mengakibatkan kesenjangan peran
sosial dan tanggung jawab sehingga terjadi diskriminasi, terhadap laki-laki dan
perempuan. Hanya saja bila dibandingkan, diskriminasi terhadap perempuan kurang
menguntungkan dibandingkan laki-laki. Salah satu wacana publik yang paling mencolok selama satu
dekade terakhir ini adalah ketidakadilan dan ketidaksetaraan berdasarkan
perbedaan jenis kelamin sosial (gender), misalnya masih adanya anggapan
masyarakat bahwa wanita tidak bebas duduk di bangku sekolah, dipingit, karena
ada anggapan masyarakat yang sudah mengakar dan sudah menjadi adat kebiasaan
yang begitu kental terutama di daerah pedesaan. Bahwa buat apa perempuan
sekolah sampai tingkat tinggi nanti juga akan kembali pada sektor domestik
yaitu dapur, sumur, dan kasur.
Dalam
UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dinyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak
mendapat pengajaran”. Meskipun pernyataan itu berlaku bagi pria dan wanita,
namun ada kenyataannya masih ada anggapan yang menghambat wanita untuk
mengikuti pendidikan formal. Subadio dan Ihromi (1986: 209) menyatakan bahwa:
Pendidikan untuk kaum pria mempunyai kegunaan yang langsung
dan bersifat ekonomis. Sedangkan pendidikan untuk kaum wanita lebih penting
artinya untuk pendidikan bangsa yang secara tidak langsung dapat mendorong
perkembangan sosial dan ekonomi yang kuat dari bangsa tersebut. Namun,
pemerintah hanya memperhatikan pendidikan bagi anak laki-laki saja. Pekerjaan
yang setengah-setengah tersebut akan mendorong tumbuhnya suatu masyarakat yang
secara intelektualis bersifat timpang.
Pembelajaran mengenai kesetaraan gender
pada anak harus dilakukan sejak dini untuk menghindari terjadinya diskriminasi
saat mereka mulai tumbuh dewasa. Berawal dari orang tua dan dibantu guru di
sekolah, anak-anak dibimbing dan diberikan pengetahuan terkait gender. Namun,
peran guru dinilai lebih strategis untuk menanamkan sikap kesetaraan gender.
Jika guru membahas persoalan megenai gender, maka murid akan selalu
mengingatnya hingga dewasa.
Murid laki-laki dan perempuan dapat
memiliki pengalaman yang berbeda pada saat mereka belajar di kelas. Hal ini
dapat mempengaruhi berbagai faktor seperti tingkat partisipasi di kelas dan
pencapaian hasil belajar. Nilai sosial dan budaya dan stereotip gender dapat
dengan tidak sengaja terjadi di dalam kelas dan di sekolah melalui interaksi
antara guru dan murid maupun diantara murid. Pendekatan mengajar dan metode yang
digunakan dalam mengajar, menilai, dan berinteraksi dengan murid bisa
menjadikan murid laki-laki sebagai favorit ketimbang murid perempuan. Hal ini
berhubungan dengan kebiasaan di Indonesia di mana murid perempuan sering tidak didorong
untuk berbicara di depan umum untuk menyatakan opini mereka atau mempertanyakan
otoritas yang sebagian besar di bawah kendali laki-laki.
Sekolah merupakan suatu wadah
pendidikan formal yang dikondisikan bagi anak didik yang bertujuan tidak hanya
untuk pencapaian ilmu, namun wadah formal ini diharapkan juga mampu menyiapkan
anak didik dengan moral, etika yang diperlukan guna memasuki tahapan kehidupan
selanjutnya secara berharkat dan bermartabat. Namun, masih banyak ditemukan
bahan ajar (buku), lingkungan dan guru yang belum responsif terhadap gender. Contohnya
pada buku-buku teks yang digunakan di SD, baik untuk pelajaran Bahasa Indonesia
maupun pelajaran yang lain ternyata memuat bias gender, yaitu memuat pemilahan
antara laki-laki dan perempuan. Ayah digambarkan bekerja di sektor publik
seperti kantor, kebun dan sejenisnya, sedangkan ibu digambarkan di sektor
domestik, seperti dapur, memasak, mencuci, mengasuh adik, dan sejenisnya. Dalam
buku-buku pelajaran itu permainan anak laki-laki juga digambarkan dengan
kegiatan fisik yang aktif, sedangkan anak perempuan gambaran fisiknya cenderung
lebih pasif. Hal ini tentu akan berdampak pada pembentukan sikap dan perilaku
anak yang akhirnya akan memperbesar ketimpangan gender. Selain itu belum
terlihat adanya nilai-nilai keadilan dan kesetaraan gender yang memadai dalam
kegiatan-kegiatan yang mampu menunjang kualitas pembelajaran dan menjadikannya
sebagai suatu kebutuhan.
Angka transisi dari SD ke SMA anak laki-laki lebih tinggi
dibanding perempuan, bahkan pada 11 propinsi kesenjangan tersebut mencapai 10-23%
lebih tinggi untuk anak laki-laki. Kesenjangan tertinggi terjadi di Papua Barat,
yaitu lebih dari 38,3% anak laki-laki melanjutkan sekolah ke tingkat SMA.
Sedangkan di propinsi Gorontalo, terdapat 9,9% lebih banyak anak perempuan yang
melanjutkan sekolah ke SMA (Kemendiknas, Biro Perencanaan, 2009). Para wanita
Indonesia masih jarang yang mendapatkan jenis pendidikan yang mempersiapkan
mereka untuk bekerja di sektor modern. Sedikit sekali kesempatan bagi
pendidikan kejuruan untuk wanita di negara-negara berkembang termasuk
Indonesia, sementara fasilitas untuk pendidikan kejuruan bagi putra bertambah
dengan pesat di hampir semua negara-negara berkembang. Oleh karena itu,
kesenjangan dalam kualifikasi antara pekerja wanita dan pria semakin lebar.
Institut
Pendidikan Tenaga Kependidikan yang ada belum bisa memenuhi kebutuhan tenaga
guru yang memiliki pemahaman terhadap kebutuhan khusus dari kedua jenis kelamin.
Belum ada rancangan dan penggunaan materi dan rencana belajar-mengajar yang
responsif gender; bahasa yang peka gender dalam kelas, pengaturan kelas dan sistem
manajemen sekolah. Semua ini dibutuhkan untuk menciptakan praktek pengajaran
yang mendukung perlakuan dan partisipasi yang sama antara anak perempuan dan
laki-laki di dalam kelas, saat kegiatan ekstra kurikuler dan di komunitas
sekolah yang lebih luas. Kurikulum memiliki peran pokok dalam menjamin bahwa anak
laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang setara dalam mencapai keberhasilan
dan memasuki jenjang sekolah yang lebih tinggi. Namun demikian, bias gender dalam
kurikulum dan materi belajar mengajar masih banyak ditemukan di negara-negara
berkembang dan berpendapatan menengah. Melalui teks dan gambar atau foto yang
bias gender, stereotip gender menjadi lebih diperkuat lagi.
Rasio guru
perempuan terhadap laki-laki mencapai 50% atau lebih di semua propinsi kecuali
Papua, Bali, dan NTB. Kualifikasi guru juga belum mencapai kesetaraan gender.
39% guru perempuan memiliki minimal kualifikasi gelar sarjana atau diploma dibanding
48% guru laki-laki. Kurangnya kepala sekolah perempuan juga bisa menjadi
kendala dalam mempertahankan kesetaraan gender. Pengalaman internasional menunjukkan
bahwa kehadiran seorang kepala sekolah perempuan berkorelasi kuat dengan tingginya
tingkat partisipasi dan transisi perempuan ke jenjang menengah. Suatu studi
yang dilakukan di Indonesia menyimpulkan bahwa kualifikasi guru memiliki
hubungan positif pada proporsi dan transisi siswa perempuan ke jenjang
berikutnya (Situs Web Kemendiknas).
Memang telah
terjadi transisi di bidang pendidikan di Indonesia. Ada perubahan dari masyarakat
yang tidak terdidik menjadi masyarakat yang lebih terdidik, dan juga perubahan
ke arah bentuk pendidikan yang mempunyai kualitas yang lebih baik. Marhaeni
(2008: 4) menyebutkan transisi-transisi tersebut, yaitu: (1) adanya kesempatan
belajar yang semakin luas dan merata; (2) makin lamanya seseorang menghabiskan
waktunya di bangku sekolah; (3) semakin meningkatnya kemampuan masyarakat untuk
membiayai pendidikan yang lebih berkualitas. Kebijakan maupun program
pemerintah di bidang pendidikan di semua jenjang pendidikan memang tidak memperlihatkan
adanya bias gender, namun jika dilihat dari komposisi lulusan terutama di
tingkat pendidikan menengah dan tinggi menurut jenis kelamin masih nyata
menunjukkan adanya ketimpangan.
Semakin tinggi
tingkat pendidikan, sedikit proporsi anak perempuan bersekolah dibanding anak
laki-laki. Menurut Ihromi (1995: 230-231) alasan gejala tersebut adalah:
Pertama, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin terbatas
jumlah sekolah yang tersedia. Masih banyak orang tua yang melarang anak
perempuannya pergi ke sekolah yang jauh diluar daerahnya. Kedua, semakin tinggi
tingkat pendidikan, semakin mahal biaya untuk bersekolah. Di keluarga miskin,
orang tua lebih memilih untuk menyekolahkan anak laki-laki daripada anak
perempuan. Ketiga, keinginan orang tua untuk menyekkolahkan anak perempuan
berkaitan dengan keinginan untuk memperbaiki hidup mereka dengan mendapatkan
suami untuk anak perempuan mereka yang berpendidikan juga. Tetapi seringkali
orang tua tidak bisa melakukan investasi dalam pendidikan anak perempuan mereka
karena tenaga anak perempuan dibutuhkan dirumah.
Ketidaksetaraan
gender yang masih saja berkembang terutama di negara-negara berpenghasilan
rendah menjadikan perempuan tidak memiliki kesamaan kesempatan bila
dibandingkan dengan kaum laki-laki. Ketidaksetaraan gender
yang terjadi diberbagai bidang
kehidupan khususnya di Indonesia,
seyogianya saling berkaitan satu sama lain. Kesenjangan yang terjadi dibidang
pendidikan, ekonomi, sosial, serta budaya membuat kaum perempuan tidak mampu
berkembang dan mengembangkan diri untuk menunjukkan
aktualisasi diri mereka. Ketidaksetaraan gender
terjadi disebabkan oleh berbagai
macam faktor yang pada dasarnya berasal dari pemikiran
yang ortodok dan parsial. Pemahaman patriakat yang tertanam dikalangan
masyarakat kita bahwa wanita hanya bisa mengurus rumah saja menyebabkan
keengganan bagi kaum perempuan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang
lebih tinggi. Bahkan
pernikahan dan masalah biaya menjadi sebuah alasan untuk meninggalkan
bangku sekolah. Hal
ini banyak banyak terjadi di daerah pedesaan dan tempat-tempat
terpencil. Sayangnya kesenjangan
yang ada membuat dampak yang buruk bagi
perkembangan bangsa dan negara.
Rendahnya pendidikan kaum perempuan
menjadikan mereka merasa
tidak mampu untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, serta demi
meningkatkan taraf kehidupan mereka. Yang terburuk adalah, adanya ketidaksetaraan gender
berarti lemahnya sebuah pemerintahan negara.
Diperlukan
adanya perubahan pemahaman tentang kesetaraan gender di kalangan
masyarakat kita di manapun.
Hendaknya para orang
tua mempunyai pengetahuan serta mengubah pola pikir
terhadap kesetaraan gender diantara anak perempuan dan anak
laki-laki. Memberikan kesempatan yang sama diantara anak-anak mereka, sehingga
tidak ada perasaan yang berbeda pada diri anak perempuan. Bahwa anak
perempuan dan anak laki-laki adalah manusia yang sama-sama memiliki
kemampuan mengaktualisasikan diri.
Sehingga sejak dini
mereka belajar untuk tidak membeda-bedakan gender dan
meiliki kemampuan menghindari diskriminasi gender.
0 komentar:
Posting Komentar