Kamis, 01 Januari 2015

KESETARAAN GENDER DALAM PENDIDIKAN DI INDONESIA



Gender diartikan sebagai jenis kelamin sosial, sedangkan seks adalah jenis kelamin biologis. Dalam gender ada perbedaan peran, fungsi dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial. Namun, gender masih diartikan oleh masyarakat sebagai perbedaan jenis kelamin. Masyarakat belum memahami bahwa gender adalah suatu konstruksi budaya tentang peran fungsi dan tanggung jawab sosial antara laki-laki dan perempuan. Kondisi demikian mengakibatkan kesenjangan peran sosial dan tanggung jawab sehingga terjadi diskriminasi, terhadap laki-laki dan perempuan. Hanya saja bila dibandingkan, diskriminasi terhadap perempuan kurang menguntungkan dibandingkan laki-laki. Salah satu wacana publik yang paling mencolok selama satu dekade terakhir ini adalah ketidakadilan dan ketidaksetaraan berdasarkan perbedaan jenis kelamin sosial (gender), misalnya masih adanya anggapan masyarakat bahwa wanita tidak bebas duduk di bangku sekolah, dipingit, karena ada anggapan masyarakat yang sudah mengakar dan sudah menjadi adat kebiasaan yang begitu kental terutama di daerah pedesaan. Bahwa buat apa perempuan sekolah sampai tingkat tinggi nanti juga akan kembali pada sektor domestik yaitu dapur, sumur, dan kasur.

Dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dinyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”. Meskipun pernyataan itu berlaku bagi pria dan wanita, namun ada kenyataannya masih ada anggapan yang menghambat wanita untuk mengikuti pendidikan formal. Subadio dan Ihromi (1986: 209) menyatakan bahwa:
Pendidikan untuk kaum pria mempunyai kegunaan yang langsung dan bersifat ekonomis. Sedangkan pendidikan untuk kaum wanita lebih penting artinya untuk pendidikan bangsa yang secara tidak langsung dapat mendorong perkembangan sosial dan ekonomi yang kuat dari bangsa tersebut. Namun, pemerintah hanya memperhatikan pendidikan bagi anak laki-laki saja. Pekerjaan yang setengah-setengah tersebut akan mendorong tumbuhnya suatu masyarakat yang secara intelektualis bersifat timpang.
Pembelajaran mengenai kesetaraan gender pada anak harus dilakukan sejak dini untuk menghindari terjadinya diskriminasi saat mereka mulai tumbuh dewasa. Berawal dari orang tua dan dibantu guru di sekolah, anak-anak dibimbing dan diberikan pengetahuan terkait gender. Namun, peran guru dinilai lebih strategis untuk menanamkan sikap kesetaraan gender. Jika guru membahas persoalan megenai gender, maka murid akan selalu mengingatnya hingga dewasa.
Murid laki-laki dan perempuan dapat memiliki pengalaman yang berbeda pada saat mereka belajar di kelas. Hal ini dapat mempengaruhi berbagai faktor seperti tingkat partisipasi di kelas dan pencapaian hasil belajar. Nilai sosial dan budaya dan stereotip gender dapat dengan tidak sengaja terjadi di dalam kelas dan di sekolah melalui interaksi antara guru dan murid maupun diantara murid. Pendekatan mengajar dan metode yang digunakan dalam mengajar, menilai, dan berinteraksi dengan murid bisa menjadikan murid laki-laki sebagai favorit ketimbang murid perempuan. Hal ini berhubungan dengan kebiasaan di Indonesia di mana murid perempuan sering tidak didorong untuk berbicara di depan umum untuk menyatakan opini mereka atau mempertanyakan otoritas yang sebagian besar di bawah kendali laki-laki.
Sekolah merupakan suatu wadah pendidikan formal yang dikondisikan bagi anak didik yang bertujuan tidak hanya untuk pencapaian ilmu, namun wadah formal ini diharapkan juga mampu menyiapkan anak didik dengan moral, etika yang diperlukan guna memasuki tahapan kehidupan selanjutnya secara berharkat dan bermartabat. Namun, masih banyak ditemukan bahan ajar (buku), lingkungan dan guru yang belum responsif terhadap gender. Contohnya pada buku-buku teks yang digunakan di SD, baik untuk pelajaran Bahasa Indonesia maupun pelajaran yang lain ternyata memuat bias gender, yaitu memuat pemilahan antara laki-laki dan perempuan. Ayah digambarkan bekerja di sektor publik seperti kantor, kebun dan sejenisnya, sedangkan ibu digambarkan di sektor domestik, seperti dapur, memasak, mencuci, mengasuh adik, dan sejenisnya. Dalam buku-buku pelajaran itu permainan anak laki-laki juga digambarkan dengan kegiatan fisik yang aktif, sedangkan anak perempuan gambaran fisiknya cenderung lebih pasif. Hal ini tentu akan berdampak pada pembentukan sikap dan perilaku anak yang akhirnya akan memperbesar ketimpangan gender. Selain itu belum terlihat adanya nilai-nilai keadilan dan kesetaraan gender yang memadai dalam kegiatan-kegiatan yang mampu menunjang kualitas pembelajaran dan menjadikannya sebagai suatu kebutuhan.
Angka transisi dari SD ke SMA anak laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan, bahkan pada 11 propinsi kesenjangan tersebut mencapai 10-23% lebih tinggi untuk anak laki-laki. Kesenjangan tertinggi terjadi di Papua Barat, yaitu lebih dari 38,3% anak laki-laki melanjutkan sekolah ke tingkat SMA. Sedangkan di propinsi Gorontalo, terdapat 9,9% lebih banyak anak perempuan yang melanjutkan sekolah ke SMA (Kemendiknas, Biro Perencanaan, 2009). Para wanita Indonesia masih jarang yang mendapatkan jenis pendidikan yang mempersiapkan mereka untuk bekerja di sektor modern. Sedikit sekali kesempatan bagi pendidikan kejuruan untuk wanita di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, sementara fasilitas untuk pendidikan kejuruan bagi putra bertambah dengan pesat di hampir semua negara-negara berkembang. Oleh karena itu, kesenjangan dalam kualifikasi antara pekerja wanita dan pria semakin lebar.
Institut Pendidikan Tenaga Kependidikan yang ada belum bisa memenuhi kebutuhan tenaga guru yang memiliki pemahaman terhadap kebutuhan khusus dari kedua jenis kelamin. Belum ada rancangan dan penggunaan materi dan rencana belajar-mengajar yang responsif gender; bahasa yang peka gender dalam kelas, pengaturan kelas dan sistem manajemen sekolah. Semua ini dibutuhkan untuk menciptakan praktek pengajaran yang mendukung perlakuan dan partisipasi yang sama antara anak perempuan dan laki-laki di dalam kelas, saat kegiatan ekstra kurikuler dan di komunitas sekolah yang lebih luas. Kurikulum memiliki peran pokok dalam menjamin bahwa anak laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang setara dalam mencapai keberhasilan dan memasuki jenjang sekolah yang lebih tinggi. Namun demikian, bias gender dalam kurikulum dan materi belajar mengajar masih banyak ditemukan di negara-negara berkembang dan berpendapatan menengah. Melalui teks dan gambar atau foto yang bias gender, stereotip gender menjadi lebih diperkuat lagi.
Rasio guru perempuan terhadap laki-laki mencapai 50% atau lebih di semua propinsi kecuali Papua, Bali, dan NTB. Kualifikasi guru juga belum mencapai kesetaraan gender. 39% guru perempuan memiliki minimal kualifikasi gelar sarjana atau diploma dibanding 48% guru laki-laki. Kurangnya kepala sekolah perempuan juga bisa menjadi kendala dalam mempertahankan kesetaraan gender. Pengalaman internasional menunjukkan bahwa kehadiran seorang kepala sekolah perempuan berkorelasi kuat dengan tingginya tingkat partisipasi dan transisi perempuan ke jenjang menengah. Suatu studi yang dilakukan di Indonesia menyimpulkan bahwa kualifikasi guru memiliki hubungan positif pada proporsi dan transisi siswa perempuan ke jenjang berikutnya (Situs Web Kemendiknas).
Memang telah terjadi transisi di bidang pendidikan di Indonesia. Ada perubahan dari masyarakat yang tidak terdidik menjadi masyarakat yang lebih terdidik, dan juga perubahan ke arah bentuk pendidikan yang mempunyai kualitas yang lebih baik. Marhaeni (2008: 4) menyebutkan transisi-transisi tersebut, yaitu: (1) adanya kesempatan belajar yang semakin luas dan merata; (2) makin lamanya seseorang menghabiskan waktunya di bangku sekolah; (3) semakin meningkatnya kemampuan masyarakat untuk membiayai pendidikan yang lebih berkualitas. Kebijakan maupun program pemerintah di bidang pendidikan di semua jenjang pendidikan memang tidak memperlihatkan adanya bias gender, namun jika dilihat dari komposisi lulusan terutama di tingkat pendidikan menengah dan tinggi menurut jenis kelamin masih nyata menunjukkan adanya ketimpangan.
Semakin tinggi tingkat pendidikan, sedikit proporsi anak perempuan bersekolah dibanding anak laki-laki. Menurut Ihromi (1995: 230-231) alasan gejala tersebut adalah:
Pertama, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin terbatas jumlah sekolah yang tersedia. Masih banyak orang tua yang melarang anak perempuannya pergi ke sekolah yang jauh diluar daerahnya. Kedua, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin mahal biaya untuk bersekolah. Di keluarga miskin, orang tua lebih memilih untuk menyekolahkan anak laki-laki daripada anak perempuan. Ketiga, keinginan orang tua untuk menyekkolahkan anak perempuan berkaitan dengan keinginan untuk memperbaiki hidup mereka dengan mendapatkan suami untuk anak perempuan mereka yang berpendidikan juga. Tetapi seringkali orang tua tidak bisa melakukan investasi dalam pendidikan anak perempuan mereka karena tenaga anak perempuan dibutuhkan dirumah.
Ketidaksetaraan gender yang masih saja berkembang terutama di negara-negara berpenghasilan rendah menjadikan perempuan tidak memiliki kesamaan kesempatan  bila  dibandingkan  dengan  kaum laki-laki.  Ketidaksetaraan  gender  yang  terjadi diberbagai  bidang  kehidupan  khususnya di Indonesia, seyogianya saling berkaitan satu sama lain. Kesenjangan yang terjadi dibidang pendidikan, ekonomi, sosial, serta budaya membuat kaum perempuan tidak mampu berkembang dan mengembangkan diri  untuk  menunjukkan  aktualisasi  diri mereka.  Ketidaksetaraan  gender  terjadi disebabkan  oleh  berbagai  macam  faktor  yang pada dasarnya berasal dari pemikiran yang ortodok dan parsial. Pemahaman patriakat yang tertanam dikalangan masyarakat kita bahwa wanita hanya bisa mengurus rumah saja menyebabkan keengganan bagi kaum perempuan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang  yang  lebih  tinggi.  Bahkan  pernikahan dan masalah biaya menjadi sebuah alasan untuk  meninggalkan  bangku  sekolah.  Hal  ini banyak banyak terjadi di daerah pedesaan dan  tempat-tempat  terpencil.  Sayangnya kesenjangan yang ada membuat dampak yang  buruk  bagi  perkembangan  bangsa dan negara. Rendahnya pendidikan kaum perempuan  menjadikan  mereka  merasa  tidak mampu untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, serta demi meningkatkan taraf kehidupan mereka. Yang terburuk adalah, adanya  ketidaksetaraan  gender  berarti lemahnya sebuah pemerintahan negara.

Diperlukan adanya perubahan pemahaman tentang kesetaraan gender  di  kalangan  masyarakat  kita  di manapun.  Hendaknya  para  orang  tua mempunyai pengetahuan serta mengubah pola  pikir  terhadap  kesetaraan  gender diantara anak perempuan dan anak laki-laki. Memberikan kesempatan yang sama diantara anak-anak mereka, sehingga tidak ada perasaan yang berbeda pada diri anak perempuan. Bahwa  anak  perempuan  dan  anak laki-laki adalah manusia yang sama-sama memiliki kemampuan mengaktualisasikan diri.  Sehingga  sejak  dini  mereka  belajar  untuk tidak membeda-bedakan gender dan meiliki kemampuan menghindari diskriminasi gender.

0 komentar:

Posting Komentar