Jumat, 02 Januari 2015

KESENIAN EBEG KHAS CILACAP


A.    Pendahuluan
Kesenian adalah salah satu bagian dari kebudayaan dan merupakan hasil budi daya manusia. Bentuk kesenian yang ada di Indonesia adalah seni musik, seni lukis, seni drama, seni sastra dan seni tari. Perwujudan seni yang ada di masyarakat merupakan cermin dari kepribadian hidup masyarakat. Tinggi rendahnya peradaban suatu bangsa dapat dilihat dari kebudayaan atau kesenian yang dimilikinya, oleh sebab itu kesenian sebagai salah satu bagian dari kebudayaan perlu  dilestarikan dan dikembangkan.
Banyumas sebagai salah satu bagian wilayah propinsi Jawa Tengah, memiliki berbagai macam budaya, adat istiadat, dialek, makanan tradisional dan kesenian yang menarik, hal tersebut dikarenakan letak geografis Banyumas yang berada pada perbatasan dua etnis yang berbeda yaitu masyarakat Jawa Barat dengan etnik Sunda. Kesenian khas Banyumas tersebar di seluruh daerah-daerah sekitar Banyumans seperti di Purwokerto, Cilacap, Banjarnegara, Purbalingga, Gombong, Wonosobo, Kebumen, Purworejo, Kulon progo, dan Magelang. Kesenian-kesenian tersebut pada umumnya merupakan seni pertunjukan rakyat yang memiliki fungsi- fungsi tertentu berkaitan dengan kehidupan masyarakat pemiliknya. Kesenian yang berasal dari di daerah Banyumas antara lain,  Aplang, Buncis, Sintren, Angguk, Ebeg atau  Jathilan, Dhames, Baritan, Ujungan, Gamelan Calung, Wayang kulit, Jemblung, Begalan, Aksi muda, Rodat, Dhaeng, Sintren, Ronggeng, Ketoprak, Dagelan, dan Lengger Calung.

Ebeg merupakan salah satu kesenian yang banyak berkembang di daerah Jawa Tengah, khususnya bagian selatan hingga barat seperti Banyumas, Purbalingga, Cilacap, dan Kebumen. Ebeg merupakan jenis tarian yang bercerita mengenai kegiatan latihan perang para prajurit berkuda pada jaman dahulu dan memiliki ciri khas yaitu menggunakan kuda kepang sebagai alat tariannya. Dalam satu grup ebeg, biasanya terdiri dari 5 hingga 8 orang pemain dan diiringi oleh gamelan lengkap dengan perangkat-perangkatnya yang lazim disebut bendhe. Menurut beberapa sumber, tarian ebeg ini sudah mulai berkembang sejak zaman Pangeran Diponegoro. Tarian ini berupa dukungan rakyat jelata terhadap Pangeran Diponegoro dalam melawan penjajah Belanda. Tarian ini biasanya terdiri dari empat fragmen, yaitu dua kali tarian buto lawas, tarian senterewe, dan tarian begon putri. Tarian ini tidak memerlukan koreografi khusus, tetapi penarinya harus bergerak kompak. Sang penari dapat bergerak bebas mengikuti alunan musik gamelan.Walaupun seringkali dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat magis dan ekstrem, namun pada intinya tarian ini memberi pesan yang sangat baik yaitu biasanya berisikan imbauan kepada manusia agar senantiasa melakukan kebaikan dan ingat dengan Sang Pencipta.
Kelincahan para penari merupakan simbol semangat dan kekuatan para nenek moyang kita dahulu. Di dalam suatu sajian Ebeg akan melalui satu adegan yang unik yang biasanya di tempatkan di tengah pertunjukan. Atraksi tersebut sebagaimana di kenal dalam bahasa Banyumasan dengan istilah mendhem. Pemain akan kesurupan seperti halnya makan beling atau pecahan kaca, makan dedaunan yang belum matang, makan daging ayam yang masih hidup, berlagak sepeti monyet, ular, dan sebagainya.
Ebeg termasuk kesenian yang tergolong cukup diperhitungkan dalam hal umur. Diperkirakan kesenian jenis ini sudah ada sejak zaman animisme dan dinamisme. Salah satu bukti yang menguatkan Ebeg dalam jajaran kesenian tua adalah adanya bentuk-bentuk intrans atau wuru. Bentuk-bentuk kesenian ini merupakan ciri dari kesenian yang terlahir pada zaman animisme dan dinamisme.

B.    Pembahasan
Dalam kegiatan ebeg memerlukan banyak persiapan dalam hal perlengkapan maupun kesiapan fisik dan mental para pemain. Acara biasanya di mulai setelah waktu sholat duhur atau sekitar jam 1 siang sampai jam 5 sore. Peralatan yang perlu dipersiapkan seperti Gendhing pengiring yang dipergunakan antara lain kendang, saron, kenong, gong, dan terompet. Selain gendhing dan tari, ada juga ubarampe yang harus disediakan seperti bunga-bungaan, pisang raja dan pisang mas, kelapa muda (degan), jajanan pasar, dan lainnya. Untuk mengiringi tarian ini selalu digunakan lagu-lagu irama Banyumasan seperti ricik-ricik, gudril, blendrong, lung gadung, cebonan, dan sebagainya.
Jumlah penari biasanya 8 orang dua diantaranya penthul-tembem, satu orang sebagai pemimpin atau dalang dan 7 orang lagi sebagai penabuh gamelan. Dan satu grup ebeg biasanya terdiri dari 15 orang atau lebih. Semua penari menggunakan alat bantu ebeg dan si penthul-tembem memakai topeng. Tarian ini termasuk tarian missal, jadi biasanya tarian ebeg dilakukan di tempat luas seperti lapangan ataupun pelataran rumah yang cukup luas.
Ketika para penari mulai kesurupan atau yang dikenal dengan mendhem. Pada saat mendhem, para penari sedang dirasuki oleh indhang. Indhang adalah roh halus yang dapat merasuki orang dan memberikan kekuatan tertentu kepada orang tersebut sehingga ia dapat mencapai suatu tindakan yang melebihi kemampuan manusiawinya. Adanya Indhang dalam kesenian ini merupakan mitos masyarakat Banyumas. Mitos merupakan sebuah keyakinan, kepercayaan yang ada dalam kehidupan masyarakat dan sebagai hasil kebudayaan yang mentradisi sejak zaman dahulu sampai sekarang.
Pada babak ebeg-ebegan, indhang yang datang bukanlah indhang yang baik, tetapi indhang jahat/brangasan sehingga penari ebeg yang telah kerasukan indhang akan mencapai keadaan trance yang membuatnya mampu melakukan hal-hal yang tidak masuk akal, misalnya: memakan pecahan kaca tanpa terluka, memegang bara api tanpa menjadi terbakar, duduk dengan menggunakan pisau tetapi tidak terluka, dan ada yang mengajak berkelahi penonton apabila  indhang yang masuk merupakan  indhang yang jahat dan memiliki dendam dengan seseorang sewaktu hidupnya. Gerak para penari yang sudah kerasukan indhang sangat berbeda dengan gerak penari lainnya. Para penari yang trance atau mendem (ndadi) mereka sudah memiliki kekuatan, stamina yang lebih bahkan mampu melakukan kegiatan di luar jangkauan manusia biasa. Mereka makan kaca/beling, bara api, padi, bunga, kreweng atau pecahan genting dan makan ayam hidup-hidup.
Untuk mendapatkan indhang para penari ebeg harus melakukan ritus. Keberadaan indhang yang merasuki penari ebeg sebagai kekuatan yang berasal dari alam lain membuat para penari melakukan cara-cara khusus untuk mendapatkannya. Penari yang memperoleh Indhang harus melakukan laku tirakat. Laku tirakat adalah menjalankan sikap-sikap hidup sederhana dalam arti yang sesungguhnya, hidup bersih dan melakukan berbagai kegiatan upacara yang meningkatkan kemampuan untuk berkonsentrasi dengan jalan pengendalian diri, dan melakukan berbagai latihan semedi. Dalam hal ini, biasanya penari ebeg harus melakukan puasa weton atau puasa hari lahir, puasa Senin-Kamis, dan bersemedi di petilasan Brawijaya.
Di samping Indhang manusia, danyang Brawijaya sering memberikan indhang binatang, seperti kuda, buaya, dan monyet. Seorang penari yang kerasukan indhang kuda menunjukkan perilaku yang mirip dengan kuda seperti melompat-lompat, meringkik, menyepak-nyepak sambil mengibaskan ebegnya, memakan makanan yang biasa dimakan kuda yaitu bekatul, beras, bunga kantil, bunga melati, daun papaya, dan rumput yang ada di sekitar pemain atau sengaja disediakan. Kalau belum tersedia biasanya penari yang sedang trance akan meminta melalui pawangnya.
Penari yang kerasukan indhang monyet biasanya akan melepaskan property ebeg yang dipakai. Penari bergerak, bersuara, dan berteriak-teriak sambil meperlihatkan giginya, memanjat pohon, memetik buahnya, memakan buah sambil bergelantungan di pohon seperti yang dilakukan monyet. Penari juga dapat mengupas kelapa dengan giginya, memecahkannya dan memakan buah kelapa tanpa alat bantu yang lain. Penari yang sudah kerasukan indhang buaya akan bergerak layaknya seekor buaya. Penari akan berguling-guling di tanah, merangkak sambil meliuk-liuk, meminum air, dan memakan makanan yang layaknya dimakan buaya.
Dalam ebeg, saat para penari mendhem menunjukan kakuatan satria, demikian pula pemain yang menaiki kuda kepang menggambarkan kegagahan prajurit berkuda dengan segala atraksinya. Biasanya dalam pertunjukan ebeg dilengkapi dengan atraksi barongan, penthul dan cepet. Tidak jarang penonton ikut terbawa dengan atraksi tersebut. Secara tidak sadar, beberapa penonton akan mengikuti gerakan  dari si penari kuda lumping, ikut menari bersama penari kuda lumping lainnya. Hal tersebut karena mereka dari penonton telah terkena roh penari kuda lumping.
Semua penari yang kerasukan Indhang akan bergerak dan menunjukkan aksinya dalam waktu yang tidak sama. Proses penyembuhan dari trance dilakukan oleh pawang dengan cara memberikan air putih yang sudah diberi mantra kepada penari yang sedang trance dan penari memberikan bisikan kepada pawangnya atau penari lain untuk menyediakan syarat yang diminta oleh indhang. Setelah syarat dipenuhi maka penari dipegang ubun-ubunnya dan dibisiki mantra-mantra, ditiup ubun-ubunnya. Penari yang sudah disembuhkan akan terjatuh dan tidak sadar selama beberapa menit sampai indhang yang ada dalam tubuhnya menghilang atau kembali ke alamnya. Proses penyembuhan oleh pawang tidak selamanya mulus ada yang  indhang tidak mau pergi dari tubuh penari sebelum disembuhkan dengan cara khusus, yakni meminta kepada pawang untuk ditidurkan di atas dua buah alat penumbuk padi atau dalam bahasa jawa disebut alu, kemudian ditutup dengan kain diangkat oleh beberapa orang dibawa berputar-putar baru diletakkan di atas tanah, didiamkan sampai indhang tersebut pergi, penari akan sadarkan diri dan membuka kain itu sendiri kemudian berdiri seperti tidak terjadi apa-apa dalam dirinya.
Seiring dengan perkembangan jaman, kesenian ebeg mulai jarang ditemukan. Banyak kesenian modern yang dinilai lebih menghibur oleh masyarakat dibandingkan dengan kesenian tradisional seperti ebeg yang kaya akan nilai budaya. Di Cilacap, ada salah satu grup  ebeg yang masih bertahan di tengah era globalisasi. Grup ebeg tersebut bernama Grup Kesenian Ebeg Sekar Lathi yang berasal dari Jalan Ganggeng RT 1 RW 9, Kelurahan Mertasinga, Kecamatan Cilacap Utara, Kabupaten Cilacap. Grup ebeg ini dibentuk pada tahun 1992 atas prakarsa Sujadi Mijan bersama tiga warga lain yaitu Suyatno, Sukiwan, dan Tarwin. Alasan mereka mendirikan grup ebeg adalah karena pada satu itu tidak ada kesenian daerah yang eksis dari daerah tempat tinggal mereka. Grup ini sempat vakum dan baru aktif kembali pada tahun 2009 dengan ketua baru yang bernama Minulyoko. Di bawah kendali pemimpin baru, tahun 2011 Sekar Lathi menyabet juara dua saat perayaan Hari Jadi Kabupaten Cilacap dan mendapat penghargaan juara pertama atau penampil terbaik dalam ajang Cilacap Anti Corruption Cilacap Fest 2012 yang diselenggarakan di Lokawisata Benteng Pendem Cilacap. Bersahaja, disiplin, dan kompak adalah hal yang wajib dijunjung tinggi oleh semua personel. Sejak awal dibentuk, pertunjukan yang dibawakan oleh  Sekar Lathi selalu mengacu pada pakem kesenian ebeg jaman dulu. Semua proses dalam tiga babak pertunjukan juga masih sangat tradisional dan klasik. Saat ini Sekar Lathi memiliki 45 anggota, empat di antaranya masih berstatus sebagai pelajar. Adapun penasehat grup diamanahkan kepada warga bernama Joko Purwono, sementara pelindungnya yakni Ketua RW 9, Gunardi dan Lurah Mertasinga, Agus.

B.     Penutup
Ebeg merupakan salah satu kesenian daerah Jawa yang banyak ditemui di daerah Banyumas, khususnya daerah Cilacap. Ditengah kemajuan jaman, banyak orang yang enggan menonton kesenian ebeg dan beralih ke kesenian modern yang banyak berasal dari Barat. Seharusnya, masyarakat tetap melestarikan kesenian ini agar eksistensinya tidak pudar karena kesenian ini kaya akan nilai budaya. Dalam pertunjukan ebeg, banyak cerita dan pesan yang terkandung dan dapat pula dijadikan sarana komunikasi tradisonal masyarakat setempat. Selain itu, ebeg juga dapat menghibur penontonnya dengan atraksi-atraksi pemain yang sedang mendhem karena atraksinya banyak yang diluar batas manusiawi. Dengan menonton ebeg, masyarakat juga turut mempertahankan keberadaan grup-grup ebeg yang kini mulai sulit ditemukan.

1 komentar:

  1. Assalamualaikum Apakah Anak Di bawah Umur 10 - 11 Boleh Bergabung Di Grup Ebeg ?? assalamualaikum

    BalasHapus