A.
Pendahuluan
Kesenian adalah salah satu bagian
dari kebudayaan dan merupakan hasil budi daya manusia. Bentuk kesenian yang ada
di Indonesia adalah seni musik, seni lukis, seni drama, seni sastra dan seni
tari. Perwujudan seni yang ada di masyarakat merupakan cermin dari kepribadian
hidup masyarakat. Tinggi rendahnya peradaban suatu bangsa dapat dilihat dari
kebudayaan atau kesenian yang dimilikinya, oleh sebab itu kesenian sebagai
salah satu bagian dari kebudayaan perlu
dilestarikan dan dikembangkan.
Banyumas sebagai salah satu bagian
wilayah propinsi Jawa Tengah, memiliki berbagai macam budaya, adat istiadat,
dialek, makanan tradisional dan kesenian yang menarik, hal tersebut dikarenakan
letak geografis Banyumas yang berada pada perbatasan dua etnis yang berbeda
yaitu masyarakat Jawa Barat dengan etnik Sunda. Kesenian khas Banyumas tersebar
di seluruh daerah-daerah sekitar Banyumans seperti di Purwokerto, Cilacap,
Banjarnegara, Purbalingga, Gombong, Wonosobo, Kebumen, Purworejo, Kulon progo,
dan Magelang. Kesenian-kesenian tersebut pada umumnya merupakan seni
pertunjukan rakyat yang memiliki fungsi- fungsi tertentu berkaitan dengan
kehidupan masyarakat pemiliknya. Kesenian yang berasal dari di daerah Banyumas
antara lain, Aplang, Buncis, Sintren, Angguk, Ebeg atau Jathilan, Dhames, Baritan,
Ujungan, Gamelan Calung, Wayang kulit, Jemblung, Begalan, Aksi muda, Rodat,
Dhaeng, Sintren, Ronggeng, Ketoprak, Dagelan, dan Lengger Calung.
Ebeg
merupakan salah satu kesenian yang banyak berkembang di daerah Jawa Tengah,
khususnya bagian selatan hingga barat seperti Banyumas, Purbalingga, Cilacap,
dan Kebumen. Ebeg merupakan jenis
tarian yang bercerita mengenai kegiatan latihan perang para prajurit berkuda pada
jaman dahulu dan memiliki ciri khas yaitu menggunakan kuda kepang sebagai alat
tariannya. Dalam satu grup ebeg,
biasanya terdiri dari 5 hingga 8 orang pemain dan diiringi oleh gamelan lengkap
dengan perangkat-perangkatnya yang lazim disebut bendhe. Menurut beberapa sumber, tarian ebeg ini sudah mulai berkembang sejak zaman Pangeran Diponegoro.
Tarian ini berupa dukungan rakyat jelata terhadap Pangeran Diponegoro dalam
melawan penjajah Belanda. Tarian ini biasanya terdiri dari empat fragmen, yaitu
dua kali tarian buto lawas, tarian senterewe, dan tarian begon putri. Tarian
ini tidak memerlukan koreografi khusus, tetapi penarinya harus bergerak kompak.
Sang penari dapat bergerak bebas mengikuti alunan musik gamelan.Walaupun
seringkali dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat magis dan ekstrem, namun pada
intinya tarian ini memberi pesan yang sangat baik yaitu biasanya berisikan
imbauan kepada manusia agar senantiasa melakukan kebaikan dan ingat dengan Sang
Pencipta.
Kelincahan para penari merupakan simbol
semangat dan kekuatan para nenek moyang kita dahulu. Di dalam suatu sajian Ebeg akan melalui satu adegan yang unik
yang biasanya di tempatkan di tengah pertunjukan. Atraksi tersebut sebagaimana
di kenal dalam bahasa Banyumasan dengan istilah mendhem. Pemain akan kesurupan seperti halnya makan beling atau pecahan kaca, makan dedaunan
yang belum matang, makan daging ayam yang masih hidup, berlagak sepeti monyet,
ular, dan sebagainya.
Ebeg
termasuk kesenian yang tergolong cukup diperhitungkan dalam hal umur.
Diperkirakan kesenian jenis ini sudah ada sejak zaman animisme dan dinamisme.
Salah satu bukti yang menguatkan Ebeg
dalam jajaran kesenian tua adalah adanya bentuk-bentuk intrans atau wuru.
Bentuk-bentuk kesenian ini merupakan ciri dari kesenian yang terlahir pada
zaman animisme dan dinamisme.
B.
Pembahasan
Dalam kegiatan ebeg memerlukan banyak persiapan dalam hal perlengkapan maupun
kesiapan fisik dan mental para pemain. Acara biasanya di mulai setelah waktu
sholat duhur atau sekitar jam 1 siang sampai jam 5 sore. Peralatan yang perlu
dipersiapkan seperti Gendhing
pengiring yang dipergunakan antara lain kendang,
saron, kenong, gong, dan terompet. Selain gendhing dan tari, ada juga ubarampe
yang harus disediakan seperti bunga-bungaan, pisang raja dan pisang mas, kelapa
muda (degan), jajanan pasar, dan lainnya.
Untuk mengiringi tarian ini selalu digunakan lagu-lagu irama Banyumasan seperti
ricik-ricik, gudril, blendrong, lung
gadung, cebonan, dan sebagainya.
Jumlah penari biasanya 8 orang dua diantaranya penthul-tembem, satu orang sebagai pemimpin atau dalang dan 7 orang lagi sebagai penabuh
gamelan. Dan satu grup ebeg biasanya
terdiri dari 15 orang atau lebih. Semua penari menggunakan alat bantu ebeg dan si penthul-tembem memakai topeng. Tarian ini termasuk tarian missal,
jadi biasanya tarian ebeg dilakukan
di tempat luas seperti lapangan ataupun pelataran rumah yang cukup luas.
Ketika
para penari mulai kesurupan atau yang dikenal dengan mendhem. Pada saat mendhem,
para penari sedang dirasuki oleh indhang.
Indhang
adalah roh halus yang dapat merasuki orang dan memberikan kekuatan tertentu
kepada orang tersebut sehingga ia dapat mencapai suatu tindakan yang melebihi
kemampuan manusiawinya. Adanya Indhang
dalam kesenian ini merupakan mitos masyarakat Banyumas. Mitos merupakan sebuah
keyakinan, kepercayaan yang ada dalam kehidupan masyarakat dan sebagai hasil
kebudayaan yang mentradisi sejak zaman dahulu sampai sekarang.
Pada babak ebeg-ebegan, indhang yang datang bukanlah indhang yang baik, tetapi indhang
jahat/brangasan sehingga penari ebeg yang telah kerasukan indhang akan mencapai keadaan trance yang membuatnya mampu melakukan
hal-hal yang tidak masuk akal, misalnya: memakan pecahan kaca tanpa terluka,
memegang bara api tanpa menjadi terbakar, duduk dengan menggunakan pisau tetapi
tidak terluka, dan ada yang mengajak berkelahi penonton apabila indhang
yang masuk merupakan indhang yang jahat dan memiliki dendam
dengan seseorang sewaktu hidupnya. Gerak para penari yang sudah kerasukan indhang sangat berbeda dengan gerak
penari lainnya. Para penari yang trance
atau mendem (ndadi) mereka sudah memiliki kekuatan, stamina yang lebih bahkan
mampu melakukan kegiatan di luar jangkauan manusia biasa. Mereka makan
kaca/beling, bara api, padi, bunga, kreweng atau pecahan genting dan makan ayam
hidup-hidup.
Untuk mendapatkan indhang para penari ebeg harus melakukan ritus. Keberadaan indhang yang merasuki penari ebeg
sebagai kekuatan yang berasal dari alam lain membuat para penari melakukan
cara-cara khusus untuk mendapatkannya. Penari yang memperoleh Indhang harus melakukan laku tirakat.
Laku tirakat adalah menjalankan sikap-sikap hidup sederhana dalam arti yang
sesungguhnya, hidup bersih dan melakukan berbagai kegiatan upacara yang
meningkatkan kemampuan untuk berkonsentrasi dengan jalan pengendalian diri, dan
melakukan berbagai latihan semedi. Dalam hal ini, biasanya penari ebeg harus melakukan puasa weton atau puasa hari lahir, puasa
Senin-Kamis, dan bersemedi di petilasan
Brawijaya.
Di
samping Indhang manusia, danyang
Brawijaya sering memberikan indhang
binatang, seperti kuda, buaya, dan monyet. Seorang penari yang kerasukan indhang kuda menunjukkan perilaku yang
mirip dengan kuda seperti melompat-lompat, meringkik, menyepak-nyepak sambil
mengibaskan ebegnya, memakan makanan
yang biasa dimakan kuda yaitu bekatul, beras, bunga kantil, bunga melati, daun
papaya, dan rumput yang ada di sekitar pemain atau sengaja disediakan. Kalau
belum tersedia biasanya penari yang sedang trance
akan meminta melalui pawangnya.
Penari
yang kerasukan indhang monyet
biasanya akan melepaskan property ebeg yang
dipakai. Penari bergerak, bersuara, dan berteriak-teriak sambil meperlihatkan
giginya, memanjat pohon, memetik buahnya, memakan buah sambil bergelantungan di
pohon seperti yang dilakukan monyet. Penari juga dapat mengupas kelapa dengan
giginya, memecahkannya dan memakan buah kelapa tanpa alat bantu yang lain. Penari
yang sudah kerasukan indhang buaya
akan bergerak layaknya seekor buaya. Penari akan berguling-guling di tanah,
merangkak sambil meliuk-liuk, meminum air, dan memakan makanan yang layaknya
dimakan buaya.
Dalam ebeg, saat para penari mendhem
menunjukan kakuatan satria, demikian pula pemain yang menaiki kuda kepang
menggambarkan kegagahan prajurit berkuda dengan segala atraksinya. Biasanya
dalam pertunjukan ebeg dilengkapi
dengan atraksi barongan, penthul dan cepet. Tidak jarang penonton ikut terbawa
dengan atraksi tersebut. Secara tidak sadar, beberapa penonton akan mengikuti
gerakan dari si penari kuda lumping, ikut menari bersama penari kuda
lumping lainnya. Hal tersebut karena mereka dari penonton telah terkena roh
penari kuda lumping.
Semua
penari yang kerasukan Indhang akan
bergerak dan menunjukkan aksinya dalam waktu yang tidak sama. Proses
penyembuhan dari trance dilakukan
oleh pawang dengan cara memberikan air putih yang sudah diberi mantra kepada
penari yang sedang trance dan penari
memberikan bisikan kepada pawangnya atau penari lain untuk menyediakan syarat
yang diminta oleh indhang. Setelah
syarat dipenuhi maka penari dipegang ubun-ubunnya dan dibisiki mantra-mantra,
ditiup ubun-ubunnya. Penari yang sudah disembuhkan akan terjatuh dan tidak
sadar selama beberapa menit sampai indhang
yang ada dalam tubuhnya menghilang atau kembali ke alamnya. Proses penyembuhan
oleh pawang tidak selamanya mulus ada yang
indhang tidak mau pergi dari
tubuh penari sebelum disembuhkan dengan cara khusus, yakni meminta kepada
pawang untuk ditidurkan di atas dua buah alat penumbuk padi atau dalam bahasa
jawa disebut alu, kemudian ditutup
dengan kain diangkat oleh beberapa orang dibawa berputar-putar baru diletakkan
di atas tanah, didiamkan sampai indhang
tersebut pergi, penari akan sadarkan diri dan membuka kain itu sendiri kemudian
berdiri seperti tidak terjadi apa-apa dalam dirinya.
Seiring
dengan perkembangan jaman, kesenian ebeg
mulai jarang ditemukan. Banyak kesenian modern yang dinilai lebih menghibur
oleh masyarakat dibandingkan dengan kesenian tradisional seperti ebeg yang kaya akan nilai budaya. Di
Cilacap, ada salah satu grup ebeg yang masih bertahan di tengah era
globalisasi. Grup ebeg tersebut
bernama Grup
Kesenian Ebeg Sekar Lathi yang berasal dari Jalan Ganggeng RT 1 RW 9, Kelurahan
Mertasinga, Kecamatan Cilacap Utara, Kabupaten Cilacap. Grup ebeg ini dibentuk pada tahun 1992 atas
prakarsa Sujadi Mijan bersama tiga warga lain yaitu Suyatno, Sukiwan, dan
Tarwin. Alasan mereka mendirikan grup ebeg
adalah karena pada satu itu tidak ada kesenian daerah yang eksis dari daerah
tempat tinggal mereka. Grup ini sempat vakum dan baru aktif kembali pada tahun
2009 dengan ketua baru yang bernama Minulyoko. Di bawah kendali pemimpin baru,
tahun 2011 Sekar Lathi menyabet juara dua saat perayaan Hari Jadi Kabupaten
Cilacap dan mendapat penghargaan juara pertama atau penampil terbaik dalam
ajang Cilacap Anti Corruption Cilacap Fest 2012 yang diselenggarakan di
Lokawisata Benteng Pendem Cilacap. Bersahaja, disiplin, dan kompak adalah hal
yang wajib dijunjung tinggi oleh semua personel. Sejak awal dibentuk,
pertunjukan yang dibawakan oleh Sekar
Lathi selalu mengacu pada pakem kesenian ebeg
jaman dulu. Semua proses dalam tiga babak pertunjukan juga masih sangat
tradisional dan klasik. Saat ini Sekar Lathi memiliki 45 anggota, empat di
antaranya masih berstatus sebagai pelajar. Adapun penasehat grup diamanahkan
kepada warga bernama Joko Purwono, sementara pelindungnya yakni Ketua RW 9,
Gunardi dan Lurah Mertasinga, Agus.
B.
Penutup
Ebeg merupakan salah satu kesenian
daerah Jawa yang banyak ditemui di daerah Banyumas, khususnya daerah Cilacap.
Ditengah kemajuan jaman, banyak orang yang enggan menonton kesenian ebeg dan beralih ke kesenian modern yang
banyak berasal dari Barat. Seharusnya, masyarakat tetap melestarikan kesenian
ini agar eksistensinya tidak pudar karena kesenian ini kaya akan nilai budaya. Dalam
pertunjukan ebeg, banyak cerita dan
pesan yang terkandung dan dapat pula dijadikan sarana komunikasi tradisonal
masyarakat setempat. Selain itu, ebeg
juga dapat menghibur penontonnya dengan atraksi-atraksi pemain yang sedang mendhem karena atraksinya banyak yang diluar
batas manusiawi. Dengan menonton ebeg,
masyarakat juga turut mempertahankan keberadaan grup-grup ebeg yang kini mulai sulit ditemukan.
Assalamualaikum Apakah Anak Di bawah Umur 10 - 11 Boleh Bergabung Di Grup Ebeg ?? assalamualaikum
BalasHapus