Kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) adalah kekerasan yang
dilakukan di dalam rumah tangga baik oleh suami
maupun oleh istri.
Meskipun dapat dilakukan oleh suami ataupun istri namun pada umumnya KDRT
dilakukan oleh suami kepada istri, walaupun ada juga korban justru sebaliknya,
atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu. Pelaku atau
korban KDRT adalah orang yang mempunyai hubungan darah, perkawinan,
persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami, dan anak bahkan pembatu rumah
tangga, tinggal di rumah ini. Ironisnya kasus KDRT sering ditutup-tutupi oleh
si korban karena terpaut dengan struktur budaya, agama dan sistem hukum yang
belum dipahami. Padahal perlindungan oleh negara dan masyarakat bertujuan untuk
memberi rasa aman terhadap korban serta menindak pelakunya.
Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kekerasan Fisik
-
Kekerasan fisik berat, yang mengakibatkan:
- Cedera berat
- Tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari
- Pingsan
- Luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit disembuhkan atau yang menimbulkan bahaya mati
- Kehilangan salah satu panca indera.
- Mendapat cacat.
- Menderita sakit lumpuh.
- Terganggunya daya pikir selama 4 minggu lebih
- Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan
- Kematian korban.
-
Kekerasan
fisik ringan; berupa menampar, menjambak, mendorong, dan perbuatan lainnya yang
mengakibatkan:
- Cedera ringan
- Rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori berat
- Melakukan repitisi kekerasan fisik ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan berat.
Kekerasan
Psikis
-
Kekerasan
Psikis Berat, berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan
penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial; tindakan dan
atau ucapan yang merendahkan atau menghina; penguntitan; kekerasan dan atau
ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis; yang masing-masingnya bisa
mengakibatkan penderitaan psikis berat berupa salah satu atau beberapa hal
berikut:
- Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat atau disfungsi seksual yang salah satu atau kesemuanya berat dan atau menahun.
- Gangguan stres pasca trauma.
- Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau buta tanpa indikasi medis)
- Depresi berat atau destruksi diri
- Gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas seperti skizofrenia dan atau bentuk psikotik lainnya
- Bunuh diri
-
Kekerasan
Psikis Ringan, berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi,
kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan,
dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina;
penguntitan; ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis;yang
masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis ringan, berupa salah
satu atau beberapa hal di bawah ini:
- Ketakutan dan perasaan terteror
- Rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak
- Gangguan tidur atau gangguan makan atau disfungsi seksual
- Gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya, sakit kepala, gangguan pencernaan tanpa indikasi medis)
- Fobia atau depresi temporer
Kekerasan
Seksual
-
Kekerasan
seksual berat, berupa:
- Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan.
- Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak menghendaki.
- Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan atau menyakitkan.
- Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan tertentu.
- Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi.
- Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka,atau cedera.
-
Kekerasan
Seksual Ringan, berupa pelecehan seksual secara verbal seperti komentar verbal,
gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau secara non verbal, seperti
ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang meminta perhatian
seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina
korban.
-
Melakukan
repitisi (terus menerus mengulang) kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke
dalam jenis kekerasan seksual berat.
Kekerasan
Ekonomi
-
Kekerasan
ekonomi berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan pengendalian lewat
sarana ekonomi berupa:
- Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk pelacuran.
- Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.
- Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan atau memanipulasi harta benda korban.
-
Kekerasan
Ekonomi Ringan, berupa melakukan upaya-upaya sengaja yang menjadikan korban
tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan
dasarnya.
Penyebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga
1.
Laki-laki
dan perempuan tidak dalam posisi yang setara
- Masyarakat menganggap laki-laki dengan menanamkan anggapan bahwa laki-laki harus kuat, berani serta tanpa ampun
- KDRT dianggap bukan sebagai permasalahan sosial, tetapi persoalan pribadi terhadap relasi suami istri
- Pemahaman keliru terhadap ajaran agama, sehingga timbul anggapan bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan
Undang-undang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga
Menurut Pasal 1
UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU
PKDRT), KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,
yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual,
psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga. UU PKDRT ini lahir melalui perjuangan panjang selama lebih kurang tujuh
tahun yang dilakukan para aktivis gerakan dari berbagai elemen.
Di Indonesia,
secara legal formal, ketentuan ini mulai diberlakukan sejak tahun 2004. Misi
dari UU ini adalah sebagai upaya, ikhtiar bagi penghapusan KDRT. Dengan adanya
ketentuan ini, berarti Negara bisa berupaya mencegah terjadinya KDRT, menindak
pelaku KDRT, dan melindungi korban KDRT. Selain sebagai bentuk perlindungan,
ketentuan ini juga merupakan terobosan hokum yang sangat penting bagi upaya
penegakkan HAM.
Terobosan
penting lainnya yang dimuat dalam UU PKDRT adalah identifikasi actor-aktor yang
memiliki potensi terlibat dalam kekerasan. Pada pasal 2 UU PKDRT disebutkan
bahwa lingkup rumah tangga meliputi (a) suami. Istri, dan anak (b) orang-orang
yang memiliki hubungan darah karena hubungan darah, perkawinan, persusuan,
pengasuhan, dan perwakilan, yang menetap dalam rumah tangga tersebut sehingga
dipandang sebagai anggota keluarga.
Catatan
tahunan komnas perempuan sejak tahun 2001 sampai dengan 2007 menunjukkan
peningkatan pelaporan kasus KDRT sebanyak lima kali lipat. Sebelum UU PKDRT
lahir yaitu dalam rentang 2001 – 2004 jumlah kasus yang dilaporkan sebanyak
9.662 kasus. Sejak diberlakukannya UU PKDRT 2005 – 2007, terhimpun sebanyak
53.704 kasus KDRT yang dilaporkan. Kecenderungan meningkatnya kasus KDRT yang
dilaporkan ini menunjukkan adanya kesadaran masyarakat tentang kekerasan
khusunya kekerasan yang terjadi di ranah rumah tangga pada umumnya dan
kesadaran serta keberanian perempuan korban untuk melaporkan kasus KDRT
yang dialaminya,pada khususnya.
Banyaknya
kasus yang dalam perjalannnya dicabut oleh pelapor yang sekaligus juga
korban, lebih karena banyaknya beban gender perempuam korban yang seringkali
harus ditanggung sendiri,, kuatnya budaya patriarkhi, doktrin agama, dan adat
menempatkan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga dalam situasi yang
sulit untuk keluar dari lingkar kekerasan yang dialaminya, dan cenderung ragu
untuk mengungkap fakta kekerasannya, bahkan korban sulit mendapat dukungan dari
keluarga maupun komunitas. Keyakinan ’berdosa’ jika menceritakan ’kejelekan,
keburukan, atau aib’ suami membuat banyak perempuan korban kekerasan dalam
rumah tangga menyimpan dalam-dalam berbagai bentuk kekerasan yang dialaminya.
Sayangnya,
sekalipun pengadilan agama menjadi lembaga yang paling banyak menangani kasus
KDRT (penelantaran ekonomi dalam perkara gugat cerai) tetapi mereka tidak
menggunakan UU PKDRT sebagai acuan. Pemisahan antara perkara perdata (cerai)
dan pidana (KDRT) dalam sistem peradilan Indonesia ternyata tidak menguntungkan
kepentingan perempuan korban untuk mendapatkan keadilan.
Harus
diakui kehadiran UU PKDRT membuka jalan bagi terungkapnya kasus KDRT dan upaya
perlindungan hak-hak korban. Dimana, awalnya KDRT dianggap sebagai wilayah
privat yang tidak seorang pun diluar lingkungan rumah tangga dapat memasukinya.
Lebih kurang empat tahun sejak pengesahannya pada tahun 2004, dalam
perjalannnya UU ini masih ada beberapa pasal yang tidak menguntungkan bagi
perempuan korban kekerasan. PP No 4 tahun 2006 tentang Pemulihan
merupakan peraturan pelaksana dari UU ini, yang diharapkan mempermudah
proses implementasi UU sebagaimana yang tertera dalam mandat UU ini.
Selain
itu, walapun UU ini dimaksudkan memberikan efek jera bagi pelaku KDRT, ancaman
hukuman yang tidak mencantumkan hukuman minimal dan hanya hukuman maksimal
sehingga berupa ancaman hukuman alternatif kurungan atau denda dirasa terlalu
ringan bila dibandingkan dengan dampak yang diterima korban, bahkan lebih
menguntungkan bila menggunakan ketentuan hukum sebagaimana yang diatur dalam
KUHP. Apalagi jika korban mengalami cacat fisik, psikis, atau bahkan korban
meninggal. Sebagai UU yang memfokuskan pada proses penanganan hukum pidana dan
penghukuman dari korban, untuk itu, perlu upaya strategis diluar diri korban
guna mendukung dan memberikan perlindungan bagi korban dalam rangka
mengungkapkan kasus KDRT yang menimpanya.
Solusi Mencegah Kekerasan Dalam
Rumah Tangga
1. Membangun
kesadaran bahwa persoalan KDRT adalah persoalan sosial bukan individual dan
merupakan pelanggaran hukum yang terkait dengan HAM.
2. Sosialiasasi
pada masyarakat tentang KDRT adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan dan
dapat diberikan sangsi hukum. Dengan cara mengubah pondasi KDRT di tingkat
masyarakat pertama – tama dan terutama membutuhkan.
3. Adanya
konsensus bahwa kekerasan adalah tindakan yang tidak dapat diterima.
4. Mengkampanyekan
penentangan terhadap penayangan kekerasan di media yang
mengesankan kekerasan sebagai perbuatan biasa, menghibur dan patut menerima penghargaan.
mengesankan kekerasan sebagai perbuatan biasa, menghibur dan patut menerima penghargaan.
5. Peranan
Media massa. Media cetak, televisi, bioskop, radio dan internet adalah
macrosystem yang sangat berpengaruh untuk dapat mencegah dan mengurangi
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Peran media massa sangat berpengaruh besar
dalam mencegah KDRT bagaimana media massa dapat memberikan suatu berita yang
bisa merubah suatu pola budaya KDRT adalah suatu tindakan yang dapat melanggar
hukum dan dapat dikenakan hukuman penjara sekecil apapun bentuk dari
penganiayaan.
6. Mendampingi
korban dalam menyelesaikan persoalan (konseling) serta kemungkinan menempatkan
dalam shelter (tempat penampungan) sehingga para korban akan lebih terpantau
dan terlindungi serta konselor dapat dengan cepat membantu pemulihan secara
psikis.
0 komentar:
Posting Komentar